(( Pengalaman bukan apa yang terjadi pada anda, melainkan apa yang anda lakukan atas apa yang terjadi ))
(Aldous Huxley)

Kamis, 06 Januari 2011

Selayang Pandang Madzhab Hanafi

Penggunaan istilah-istilah dalam madzhab hanafi bukanlah hal yang asing bagi sebagian orang, melainkan sebuah wacana dalam memahami madzhab ini, sehingga bisa mengaplikasikannya dengan sebaik mungkin. Banyak juga kalangan, khususnya pelajar menisbatkan Imam Hanafi sebagai fakih Ahli Iraq dan Ahli Ra’yi dikarenakan sosio-kultural beliau hidup pada masa itu, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi seperti ketika seseorang mengatakan kalau Imam Hanafi mengedepankan qiyas dari pada hadits atau berpendapat kalau madzhab hanafi itu yang paling sedikit diantara madzhab-madzhab dalam hal berhati-hati di dalam agama. Padahal permasalahannya tidak semudah itu dalam berasumsi dan ber konklusi tanpa mengetahui dengan seksama bagaimana sistem istimbat hukum mereka dan istilah-istilah yang ada didalamnya.
Beliau tidak mengutamakan qiyas dari pada hadis melainkan mengutamakan untuk menggunakan al-quran, hadits, hukum atau keputusan-keputusan sahabat, melakukan apa yang disepakati sahabat, apabila mereka berbeda pendapat maka beliau mengqiyaskan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan seluruh illatdiantara dua masalah sehingga menjadi jelas maknanya, sehingga memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan mempermudah dalam melakukan apa yang disyariatkan.
Abu Hanifah adalah orang yang pertama kali mengkodifikasikan ilmu syariat dan tidak ada seorangpun yang mengkodifikasikan sebelum beliau, hal itu karena para sahabat dan tabi’in itu memahami syariat dengan baik dan tidak butuh untuk dikodifikasikan, hati mereka sebagai lautan syariat untuk menunjukkan dan menjawab tantangan zaman yang bersumber dari al-quran dan hadits.
 Hanafiyah membagi pembahasan fikih sebagai asasnya kedalam tiga bagian yaitu: ibadah, mu’amalah dan ‘uqubât.
Adapun madzhab ini justru cenderung kepada perbedaan-perbedaan yang ada dalam ushul fikih dalam penisbatannya terhadap hukum yang terkesan terperinci dan seksama dalam memahami sebuah syariat Islam seperti perbedaan makna fasid dan batil, makruh tanzih dan makruh tahrim, memahami fardhu yang dinisbatkan dengan penggunaan dalil secara qath’i dan wajib dengan menggunakan dalil dzanni.
Memang setiap madzhab mempunyai corak dan warna tersendiri sehingga lebih terlihat pada pengikut-pengikutnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi perbedaan tidaklah menjadi penghalang dalam Islam bahkan menjadikan Islam sebagai agama yang rasional dan fleksibel dalam segala aspek kehidupan, walaupun kenyataannya dalam muslim sendiri banyak pertentangan bahkan acuh tak acuh untuk menjaga dan melestarikan syariat islam. Hal tersebut lebih terlihat dalam milieu kita dan strata masyarakat yang mendukung timbulnya perbedaan disertai dengan pemikiran-pemikiran non-islam yang merasuk kepada orang-orang islam tanpa diimbangi dengan sifat selektif dan pemfilteran dengan seksama sehingga memudahkan seseorang mengatakan, bahkan menisbatkan apa yang dia katakan kepada madzhab-madzhab islam yang ada dengan mengesampingkan disiplin cabang-cabang ilmu yang telah ditetapkan.
Ya, kita boleh mengatakan metode berpikir kita itu benar tetapi tidak boleh mengatakan bahwa yang benar adalah metode berpikir kita saja.
Apabila kita menelusuri kembali madzhab Hanafi ini, seakan-akan berhubungan dengan pemikiran-pemikiran yang timbul zaman sekarang ini dengan mengedepankan akal saja, fanatisme, berlebih-lebihan bahkan melampaui batas dalam memahami syariat islam. Itu memberikan inspirasi dan mendorong kepada kita untuk mengetahui dan mengerti corak dan warna setiap madzhab dalam islam tanpa adanya saling menyalahkan dan mengedepankan egoisme atau sikap fanatik yang berlebihan dalam aplikasinya.
Diantara istilah-istilah yang ada dalam Hanafiyah adalah shahih yang terbagi menjadi dua yaitu shahih dirâyah dan riwayat. Shahih dirâyah artinya keberadaan  dalil, hujah dan analisa itu terpercaya dari orang yang meriwayatkannya, darimanapun munculnya dalil, hujah dan analisa itu. Shahih riwayat itu karena ketetapannya bersumber dari orang yang mengatakan dengan sanad shahih mutawatir, masyhur atau ahad, seperti yang diriwayatkan dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Hasan, Malik, Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya secara shahih, adakalanya dengan menaikkan derajat sanadnya dari apa yang dinukilkan secara terpercaya, terhindar dari cela, cacat dan sebab tidak diterimanya suatu periwayatan, atau dengan menemukannya di dalam  kitab terkenal yang diketahui keadilan, dhabit pengarangnya dalam periwayatan, seperti kitab-kitab Muhammad bin al-Hasan, dan kitab-kitab matan terdahulu yang terpercaya.
Olehkarena itu, hendaklah meneliti secara seksama tentang keshahihan di dalam kenyataan, permasalahan yang sama, riwayat dan dirayah sehingga memungkinkan untuk menguatkan dan membenarkan suatu periwayatan.
Kebanyakan yang di katakan Hanafiyah di dalam kitab-kitabnya adalah as-salaf yang dimaksudkan dari Abu hanifah sampai Muhammad, al-Khalaf  artinya dari Muhammad sampai Syamsu’l Aimmah al Halwai, al-Mutaakhirin yaitu dari al-halwai sampai hafidzuddin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari wafat tahun 630. Sedangkan apabila dikatakan al-imam al-A’dzam yang dimaksudkan di dalam kitab-kitab hanafiyah yaitu Imam Abu Hanifah dan yang dimaksud dengan al-Syaikhani yaitu Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sedangkan kalau al-Tharafâni adalah Abu Hanifah dan Muhammad, al-Shâhibani yang dimaksud adalah Abu Yusuf dan Muhammad.
Permasalahan-permasalahan yang ada di dalam madzhab Hanafi adalah masalah-masalah ushul yaitu permasalahan-permasalahan dhahirnya riwayat, masalah-masalah selain dzahir riwayat dan permasalahan-permasalahan yang terjadi (al-wâqiât) yaitu permasalahan yang diambil hukumnya oleh muta’akhirin pengikut Muhammad dan setelahnya sampai pada masa ijtihad di dalam permasalahan yang sedang terjadi yang tidak di ketahui dari riwayat imam tiga (al-Aimmah al-Tsalasah) yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad.
Imam Hanafi merupakan pengusung pertama madzhab dalam islam memberikan pencerahan dan perkembangan dalam metodologi dan cara berpikir yang lebih baik untuk  perkembangan  Islam serta melestarikan syariat-syariat Islam. Hanya saja sekarang ini fanatisme dan perkembangan zaman telah benar-benar mempengaruhi umat islam, menyebabkan sedikitnya orang memperhatikan syariat Islam di dunia ini bahkan tidak tahu apakah Islam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar